Teman
Istimewa
Hai,
ini adalah buku harianku. Namaku Safina, umurku 17 tahun, aku siswi baru di SMA
Pelita Yogyakarta. Aku pindah ke sini mengikuti orang tuaku. Ini hanyalah kisah-kisahku bersama teman-teman
baruku.
Senin, 27 Juni
Ini
Senin pertama aku masuk SMA Pelita, aku datang lebih awal karena berangkat
bersama Papa yang akan bekerja. Saat tiba di sekolah hujan turun cukup deras, setelah
berpamitan aku segera turun dari mobil dan bergegas lari memasuki gerbang
sekolah. Jaketku sedikit basah jadi aku memutuskan mencari toilet siswi untuk
merapihkan baju.
Setelah
bertanya pada penjaga sekolah akhirnya aku menemukan letak toilet. Saat hendak masuk,
aku hampir menabrak seorang siswi yang berjalan keluar. “Hai… maaf ya.” ujarku,
“Tidak apa-apa.” balasnya. Ia tersenyum dan bergegas lari. Kemudian aku masuk
untuk merapihkan bajuku. Setelah keluar dari toilet aku bergegas mencari ruang
guru untuk mengetahui lokasi kelas baruku.
Bu
Vero yang akan menjadi Wali Kelasku mengantarkan dan memperkenalkanku pada
teman-teman baruku. Aku berkenalan dengan Alena teman yang duduk di sebelahku,
dia gadis yang sangat ramah dan ceria.
Kamis, 30 Juni
Setelah
pulang sekolah Alena mengajak aku untuk menemaninya ke toko buku. Ia akan mencari
buku tekhnik fotografi. Setelah tiba di Toko Buku Agung Alena mulai memilih buku di bagian Photography. Ia berbisik “Aku adalah fotografer yang handal.“ Aku
tertawa “Baiklah Aku tunggu hasil karyamu!”
Aku
memutuskan untuk berjalan ke bagian sastra, lalu mulai memilih buku puisi yang
belum kupunya. “Apa kau sudah baca buku
ini? Buku ini bagus.” aku menoleh mencari sumber suara itu. Gadis cantik itu
tersenyum. “Hai, namaku Aya.” ia mengulurkan tangan. “Namaku Safina.” ucapku
sambil menjabat tangannya. Ia menunjuk sebuah buku kumpulan puisi karangan W.S
Rendra. “Kau suka puisi juga?“ tanya Aya. “Ya, sangat suka , begitu banyak
makna yang tersimpan di dalam sebuah puisi.” jawabku. “Siapa Pujangga yang kau
suka?” kata Aya “Banyak sekali, menurutku mereka semua hebat dan memiliki ciri
masing-masing.” balasku. Seorang pengunjung menatapku heran, mungkin ia tidak
paham mengapa aku begitu mencintai pusi.
Senin, 4 Juli
Sudah
satu minggu aku menjadi siswi di SMA Pelita, aku baru mengetahui mulai tanggal
30 Juli tahun ini sekolah kami akan mengadakan Festival Budaya. Setiap kelas diwajibkan menampilkan bakat setiap
siswanya dalam bidang seni dan budaya. Bu Vero yang mengetahui minatku pada
sastra memintaku untuk membacakan puisi saat festival. ”Istirahat temenin aku
ke perpus ya?” ajakku pada Alen. “Yaaah
Fin, aku ada rapat dengan anggota Pholub.” Alen meminta maaf karena tidak bisa
menemaniku. Memang tadi pagi Raka ketua eskul Photography Club meminta semua anggotanya untuk hadir karena mereka
akan menjadi tim dokumentasi pada acara festival nanti.
Akhirnya
setelah makan siang, aku mengungunjungi perpustakaan sendiri. Sambil membawa
buku puisi, aku berjalan mencari kursi favoritku yaitu kursi yang paling
pojok. Tapi telah ada seorang gadis yang
duduk dan tersenyum melihatku. “Aya apa yang
kau lakukan?” ujarku. “Aku berlatih puisi.” balasnya. Tak terasa sepanjang
istirahat aku malah berbincang bersama Aya. Aku tak menyadari bel masuk telah
berbunyi, sampai petugas perpustakaan pelan-pelan menghampiriku “Apa yang kamu
lakukan di sini? Bel telah berbunyi, kembalilah ke kelasmu!” Ia menatapku heran.
“Maaf pak, saya tidak dengar.” jawabku. Kami segera keluar dari perpustakaan.
Minggu, 16 Juli
Hari
ini aku dan Alen akan menonton di bioskop Mall Yogyakarta tapi aku datang terlalu
awal, akhirnya aku memutuskan untuk minum di salah satu cafe. Saat aku sedang
memilih menu dan memanggil pelayan, ada seseorang menghampiriku. “Hai Fina,
boleh bergabung?” Aya muncul dan duduk di sebelahku. “Tentu” kataku. Aku
memesan segelas coklat hangat, setelah mencatat pesananku pelayan itu segera
berlalu. “Hei, tunggu temanku belum pesan” protesku, sang pelayan menatapku “Kau
mau memesan juga untuk temanmu nanti?” tanyanya. “Aku tidak mau pesan apapun,
hanya ingin mengobrol denganmu” jawab Aya. Akhirnya aku hanya menggeleng.
Rabu, 27 Juli
Akhirnya
sampailah pada hari yang ditunngu-tunngu , acara festival budaya tiba. Pagi ini
Kepala Sekolah tampak berbincang dengan kepala Yayasan yang memegang foto
seorang gadis. Mereka tampak bersiap-siap untuk membuka acara ini. “Selamat
pagi semua, terima kasih atas partisipasi kalian dalam pelaksanaan Festival
Budaya yang baru akan diadakan pertama kali ini. Seperti sudah kalian ketahui,
tujuan diadakan acara ini untuk mengenang satu tahun kepergian salah satu teman
kita yang begitu berprestasi, yaitu Budaya.” Kemudian Kepala yayasan menaruh
foto seorang gadis itu di meja atas panggung, siswi yang cantik dan seperti
seseorang yang aku kenal, Aya.
“Aya”
gumamku. “Bagaimana kau mengetahui panggilannya?“ Alen bertanya. “Kita sering
bersama di sekolah ini”. jawabku. “Jangan bercanda Fin, Aya sudah tiada setahun
yang lalu. Sebulan setelah ulang tahunnya ia harusnya mengikuti lomba sastra
tingkat nasional, tepat satu tahun yang lalu, tapi sayang leukemia yang
dideritanya tak tertolong lagi,” Alen menjelaskan.
Ingatanku akan
kejadian-kejadian yang lalu mulai jelas, tatapan mata pengunjung di toko buku,
sikap pelayan di cafe dan tingkah aneh petugas perpus yang hanya menyuruhku
kembali ke kelas. Tiba-tiba aku melihat sesosok bayangan diujung lorong kelas
lantai atas. Seorang siswi, Aya sedang tersenyum dan melambai ke arahku.